Tuesday, May 24, 2016

TEKS ULASAN : Membandingkan Teks "Gara - Gara Kemben, Film 'Gending Sriwijaya' Diprotes Budayawan", dan Teks "'Mengapa Kau Culik Anak Kami?' Pertanyaan Itu Belum Terjawab"

BAHASA INDONESIA
Kegiatan 2
Kerjasama Membangun Teks Ulasan
Ø Tugas 2: Membandingkan Teks “Gara – Gara Kemben, Film ‘Gending Sriwijaya’ Diprotes Budayawan”, dan Teks “’Mengapa Kau Culik Anak Kami?’ Pertanyaan Itu Belum Terjawab”

TEKS 1
Gara-Gara Kemben, Film “Gending Sriwijaya” Diprotes Budayawan
No.
Struktur Teks
Kalimat
1.
Orientasi 1
Film Gending Sriwijaya yang disutradarai Hanung Bramantyo menuai kontroversi. Sejumlah budayawan dan peneliti sejarah di Sumatera Selatan protes karena menilai alur cerita (plot) film menyimpang dari sejarah Kerajaan Sriwijaya. Pakaian songket dan kemben yang dikenakan bintang film itu juga dianggap keliru. “Harus direvisi sebelum ditayangkan karena bisa jadi pembiasan sejarah,” tegas Kepala Balai Arkeologi Palembang, Nurhadi Rangkuti, Minggu (21/10/2012).
2.
Orientasi 2
Film Gending Sriwijaya digarap Hanung Bramantyo bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menggunakan dana APBD senilai Rp11 miliar. Dalam anggaran disebutkan film yang akan dibuat berjenis film dokumenter. Setelah selesai film ini dikelola Badan Aset Daerah. Tender film dimenangi Putar Production pada April 2012. Ini kerja sama kedua setelah film “Mengejar Angin”.
3.
Tafsiran Isi 1
Nurhadi menilai kelemahan film Gending Sriwijaya terletak pada cerita pertentangan dan perebutan tahta oleh dua anak raja (dalam film disebut Raja Dapunta Hyang Srijayanasa. Nama Dapunta Hyang terukir di Prasasti Kedukan Bukit, 864 Masehi). Menurut Nurhadi, dalam sejarah Kerajaan Sriwijaya tidak pernah terjadi pertentangan. Kehancuran Sriwijaya yang pernah menjadi kerajaan maritim terbesar di Nusantara disebabkan faktor eksternal, tidak ada sejarah yang mengisahkan perebutan tampuk kekuasaan di antara keturunan raja.
4.
Tafsiran isi 2
“Pertentangan dan kehancuran kerajaan diriwayatkan terjadi karena ada serangan dari luar kerajaan,” tegas Nurhadi. Ketua Yayasan Kebudayaan Tandipulau, Erwan Suryanegara, protes lebih keras. “Saya berani pasang leher untuk menentang film ini,” katanya.
5.
Tafsiran isi 3
Budayawan yang mendapat Magister Seni Rupa dan Desain dari Institut Teknologi Bandung ini mengatakan, kisah yang diceritakan terkesan mengadaada karena menggabungkan Gending Sriwijaya dengan cerita Kerajaan Sriwijaya. Dua hal ini merupakan objek yang berbeda. Gending Sriwijaya merupakan nama tarian yang diciptakan pada tahun 1943 ketika zaman penjajahan Jepang sebagai tarian penyambut petinggi Jepang ketika itu. Tari ini diciptakan Sukainah Arozak, syair diciptakan A. Muhibat. Sementara Kerajaan Sriwijaya dikisahkan dalam sejarah mengalami kejayaan pada abad ke-7 hingga ke-13 masehi. “Dua hal ini merupakan kisah yang berbeda, tidak dapat disatukan. Selisih waktu di antara keduanya jauh, berabad-abad,” jelasnya.
6.
Evaluasi
Erwin mempermasalahkan riset yang dilakukan sutradara dan penulis skenario film karena menurutnya film ini tidak didukung riset yang cukup akan latar belakang sejarah Sriwijaya. Kekeliruan riset juga ditunjukkan dengan kostum yang dikenakan para pemain tidak sesuai pada masanya. Para pemain mengenakan pakaian yang tidak bercirikan pakaian Melayu ketika itu. “Kemben yang digunakan itu bukan pakaian sehari-hari masyarakat ketika itu. Bagi kami, pakaian itu merupakan pakaian khusus untuk ke sungai jika hendak mandi,” ungkap budayawan yang juga menjadi pengajar di Palembang ini.
7.
Rangkuman
Sama seperti Nurhadi, perebutan kekuasaan antara kedua anak raja kerajaan
yang diceritakan dalam film ini juga dipertanyakan Erwin. Sinopsis film Gending Sriwijaya mengisahkan perebutan tahta kerajaan antara dua orang anak Raja Dapunta Hyang Sri Jayanasa (diperankan Slamet Rahardjo), yakni Awang Kencana (Agus Kuntjoro) dan Purnama Kelana (Syahrul Gunawan). “Tidak ada sejarah yang mengisahkan perebutan kekuasaan oleh dua anak raja Kerajaan Sriwijaya,” tegasnya.
(Sumber: www.tribunnews.com)

  • Disebutkan oleh penulis teks ulasan “Gara-Gara Kemben, Film “Gending Sriwijaya” Diprotes Budayawan”, Ilm, bahwa film “Gending Sriwijaya” ini menuai kontroversi. Mengapa? 
Ø  Karena beberapa budayawan dan peneliti sejarah Sumatra Selatan tidak srek (protes) dengan adanya film tersebut. Hal ini disebabkan karena alur cerita film menyimpang dari sejarah Kerajaan Sriwijaya.

  • Kepala Balai Arkeologi Palembang, Nurhadi Rangkuti, mengatakan film ini bisa menimbulkan pembiasan sejarah. Apa maksudnya?
Ø  Maksud pembiasan sejarah adalah salah mengartikan atau salah pemahaman tentang sejarah yang sebenarnya, sehingga menyebabkan pembaca tidak mengetahui yang sebenarnya, karena film tersebut mengandung isi yang tidak sesuai dengan kenyataan.

  • Tahukah kalian kebenaran sejarah yang melatarbelakangi kehancuran Kerajaan Sriwijaya?
Ø  Kehancuran Sriwijaya dilatarbelakangi oleh faktor eksternal, yaitu serangan dari kerajaan luar.

  • Apa pula maksud kemben yang disebut-sebut dalam teks ulasan tersebut? 
Ø  Kemben adalah pakaian tradisional seperti jarik yang digunakan sampai ke bagian dada. Yang biasanya digunakan ke sungai ketika hendak mandi.

  • Termasuk corak apakah teks ulasan di atas? Mengapa? 
Ø  Termasuk corak kritik evaluasi karena ulasan tersebut memindai kerangka cerita, premis, dan tema dari sejarah Kerajaan Sriwijaya .


TEKS 2
Teks “’Mengapa Kau Culik Anak Kami?’ Pertanyaan Itu Belum Terjawab
No.
Struktur Teks
Kalimat
1.
Orientasi 1
“Apa orang-orang itu tidak punya seorang ibu yang setidak-tidaknya pernah
memperkenalkan kasih sayang, kelembutan cinta....”
“Apa kamu pikir orang-orang itu dilahirkan oleh seorang ibu?”
“Apa mereka lahir dari batu?”
“Mereka dilahirkan oleh rahim kekejaman.”

Dialog itu diucapkan tokoh Ibu dan Bapak yang diperankan Niniek L. Karim dan Landung Simatupang dalam drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” Drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” ditulis dan disutradarai oleh Seno Gumira Ajidarma. Banyak penonton berkaca-kaca matanya menyaksikan pementasan drama sepanjang 75 menit itu, yang selama itu pula suasana dicekam oleh kepiawaian akting dua aktor andal itu, yang satu dari Jakarta dan satu lagi dari Yogyakarta.
2.
Orientasi 2
Drama ini dipentaskan di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 6—8 Agustus 2001, dan setelah itu digelar di Societeit, Taman Budaya, Yogyakarta, 16—18 Agustus. Pertunjukan diproduksi oleh Perkumpulan Seni Indonesia bekerja sama dengan Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan).
3.
Orientasi 3
Panggung diisi oleh garapan artistik dari tokoh yang juga jarang muncul, yakni Chalid Arifin, lulusan Institut Des Hautes Etudes Cinematographiques, Perancis. Suasananya serba minimalis, sampai ke tata lampu maupun garapan musik oleh Tony Prabowo yang dimainkan oleh Budi Winarto dengan saksofon soprannya.
4.
Orientasi 3
Drama tersebut diilhami oleh peristiwa penculikan aktivis di era Orde Baru-
Soeharto. Drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” berwujud obrolan antara tokoh suami dan istri yang anaknya diculik dan belum kembali. Obrolan terjadi menjelang tengah malam. Bapak mengenakan sarung dan berkaus oblong, sedangkan Ibu bergaun panjang.
5.
Orientasi 4
Kalau dilihat secara sederhana, obrolan terbagi dua fase: fase pertama menyangkut tindak kekejaman secara umum yang dilakukan oleh tentara, fase kedua memfokuskan pada kehidupan Ibu-Bapak itu, yang anaknya, Satria (diperankan oleh korban penculikan yang sebenarnya, aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi, Nezar Patria) hilang diculik penguasa.
6.
Tafsiran isi 1
Berlatarkan pada situasi politik sekarang yang cenderung ingin melupakan korban-korban penculikan yang sampai kini tak ketahuan rimbanya, drama ini serentak menemukan relevansi sosialnya. Dengan langsung menunjuk peristiwa-peristiwa kekerasan yang pernah terjadi di Indonesia termasuk pada tahun 1965, drama ini sendiri lalu seperti berada di wilayah “kesenian kontemporer” dengan sifat khasnya: meleburnya batas antara kesenian dan kehidupan nyata; antara ruang pribadi dan ruang publik; dan seterusnya. Apa yang dialami si Ibu-Bapak Niniek dan Simatupang, adalah juga pengalaman sehari-hari sekian orangtua yang kehilangan anak-anaknya, anak yang kehilangan bapaknya, diculik oleh genderuwo penguasa politik.
7.
Tafsiran isi 2
“Ini hanya sebuah kopi dramatik dari peristiwa yang sebenarnya,” kata Seno Gumira. Seno sendiri yang lebih dikenal khalayak sebagai penulis cerpen sebenarnya juga pernah menggauli penulisan naskah drama. Ia pernah bergabung dengan Teater Alam, Yogyakarta, pimpinan Azwar A.N. pada pertengahan 1970-an. Ia pernah menggelar drama karyanya berjudul “Pertunjukan Segera Dimulai” pada 1976. Belakangan, ia mementaskan “Tumirah Sang Mucikari” (1998) yang diilhami oleh huru-hara politik di Tanah Air.
8.
Tafsiran isi 3
“Mengapa Kau Culik Anak Kami?” sendiri, dari segi naskah dan strategi pementasan, boleh jadi oleh penulis dan sutradaranya tidak langsung diparadigmakan dalam gagasan-gagasan yang mendasari peleburan batas kesenian dan kehidupan seperti diwacanakan oleh seni kontemporer. Suasana penantian, misalnya, mungkin masih seperti mengacu pada “modernisme” Becket, taruhlah dalam Waiting for Godot.
9.
Evaluasi
Namun, para pendukung, katakanlah Niniek, Simatupang, serta tidak ketinggalan penata musik, Tony Prabowo, dengan kematangannya telah menjembatani apa yang bisa dicapai naskah tersebut dengan publiknya. Ini masih didukung adegan sekilas yang menjadi penting, ketika Nezar Patria tiba-tiba muncul di panggung beberapa detik. Sementara saksofon yang melengkingkan blues oleh Budi Winarto yang menandai pergantian babak, setiap saat menggarisbawahi, betapa pahit dan mengenaskan sebetulnya hidup di republik ini. Itulah yang membuat hati banyak orang teriris dan sebagian menjadi sembab matanya ketika keluar dari gedung pertunjukan.
10.
Rangkuman
Di panggung, Niniek berujar, “Sudah setahun lebih. Setiap malam aku berdoa mengharapkan keselamatan Satria, hidup atau mati. Aku hanya ingin kejelasan....” Sementara Simatupang berdiri, maju ke ujung panggung dan bermonolog, “Mengapa kau culik anak kami? Apa bisa pertanyaan ini dijawab oleh seseorang yang merasa memberi perintah menculiknya?” Pertanyaan itu belum terjawab di atas pentas. Juga di luar pentas.


  • Teks di atas mengulas sebuah drama berjudul “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” Sebelum penulis teks masuk pada bagian orientasi, terdapat dialog antara tokoh Ibu dan Bapak. Apa yang mereka bicarakan?
Ø  Mereka membicarakan tentang kekejaman seseorang yang telah menculik anaknya tanpa alasan apapun (belum ada kejelasan). Mereka selalu berdoa mengharapkan keselamatan anaknya (Satria).

  • Ada berapa paragrafkah orientasi yang terlihat pada teks tersebut?
Ø  Pada teks tersebut terdapat 4 paragraf orientasi yaitu paragraf 1 sampai dengan 4 didalam paragraph-paragraf tersebut terdapat gambaran umum mengenai drama tersebut dan terdapat paparan tentang nama,kegunaan dan sebagainya.

  • Apa tema yang diangkat dalam drama yang ditulis dan disutradarai Seno Gumira Aji Darma ini? 
Ø  “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” mengangkat tema politik. Dalam drama tersebut bercerita mengenai keadaan politik dan peristiwa kekerasan yang terjadi pada tahun 1965 dan seterusnya dimana tidak adanya kejelasan dan hentinya hingga akhir-akhir ini, politik Negara yang carut-marut.

  • Mengapa banyak mata penonton yang berkaca-kaca setelah menyaksikan pementasan drama tersebut? 
Ø  Karena suasana cerita dapat mencengkam oleh kepiawaian acting dua actor handal(sebagai ibu dan bapak).

  • Termasuk corak apa teks ulasan di atas? Mengapa?
Ø  Dalam teks ulasan tersebut merupakan corak kritik apresiasi  dimana sang pengulas memberikan tanggapan positif terhadap film ini.




Pada ketiga teks ulasan tersebut, terdapat kelebihan, kekurangan, dan jalan keluar yang diberikan penulisnya pada kolom di bawah ini
No.
Judul Teks Ulasan
Kelebihan
Kekurangan
Jalan Keluar
1.
Gara-gara Kemben Film Gending Sriwijaya
  1. Kisah padat dan tidak bertele-tele 
  2. Film yang dengan leluasa menyindir politik Indonesia 
  3. Akting pemain memukau
  4. Musik yang mendukung suasana 
  5. Koreografi laga yang apik
  1. Harus direvisi dulu sebelum ditayangkan
  2. Kelemahan terletak pada cerita 
  3. Kisah terlalu berlebihan dan mengada-ada 
  4. Riset sejarah tidak mendukung 
  5. Penggunaan kostum tidak sesuai dengan kisah atau sejarah
  1. Perlu diadakannya riset yang jelas 
  2. Harus melakukan revisi sebelum ditayangkan 
  3. Harus menampilkan kisah yang sesuai dengan keadaan asli sejarah 
  4. Mencari sumber yang jelas. 
  5. Mengklarifikasi kesalahan film
2.
“Mengapa Kau Culik Anak Kami” Pertanyaaan Itu Belum Terjawab
1.      Banyak penonton berkaca-kaca menyaksikannya 
2.      Akting para pemain yang andal 
3.      Penggarapan artistik yang memukau 
4.      Sound yang menggambarkan kesedihan dengan apik
5.      Kisah dari kehidupan sehari-hari
1.      Kisah tidak digambarkan secara langsung
2.      Suasana terlalu modernism
1.      Cerita harus to the point
2.      Menggambarkan suasana sebagaimana mestinya

Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan nama buku, majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam tulisan. Misalnya: Berita itu muncul dalam harian Kompas. Tanda petik (“...”) dipakai untuk mengapit judul puisi, karangan, atau bab buku yang dipakai dalam kalimat. Misalnya: Sajak “Pahlawanku” terdapat pada halaman 5 buku itu. Oleh sebab itu, penulisan judul film atau drama yang dipakai dalam kalimat menggunakan tanda petik (“...”), sedangkan judul novel dituliskan dengan huruf miring.



SELESAI.
Baca Selengkapnya →