BAHASA INDONESIA
Kegiatan 2
Kerjasama Membangun Teks Ulasan
Ø Tugas 2: Membandingkan Teks “Gara – Gara Kemben,
Film ‘Gending Sriwijaya’ Diprotes Budayawan”, dan Teks “’Mengapa Kau Culik Anak
Kami?’ Pertanyaan Itu Belum Terjawab”
TEKS 1
Gara-Gara Kemben, Film “Gending Sriwijaya” Diprotes Budayawan
No.
|
Struktur Teks
|
Kalimat
|
1.
|
Orientasi 1
|
Film Gending Sriwijaya yang disutradarai Hanung Bramantyo menuai
kontroversi. Sejumlah budayawan dan peneliti sejarah di Sumatera Selatan
protes karena menilai alur cerita (plot) film menyimpang dari sejarah
Kerajaan Sriwijaya. Pakaian songket dan kemben yang dikenakan bintang film
itu juga dianggap keliru. “Harus direvisi sebelum ditayangkan karena bisa
jadi pembiasan sejarah,” tegas Kepala Balai Arkeologi Palembang, Nurhadi
Rangkuti, Minggu (21/10/2012).
|
2.
|
Orientasi 2
|
Film Gending Sriwijaya digarap Hanung Bramantyo bekerja sama dengan
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menggunakan dana APBD senilai Rp11
miliar. Dalam anggaran disebutkan film yang akan dibuat berjenis film
dokumenter. Setelah selesai film ini dikelola Badan Aset Daerah. Tender film
dimenangi Putar Production pada April 2012. Ini kerja sama kedua setelah film
“Mengejar Angin”.
|
3.
|
Tafsiran Isi 1
|
Nurhadi menilai kelemahan film Gending Sriwijaya terletak pada cerita
pertentangan dan perebutan tahta oleh dua anak raja (dalam film disebut Raja
Dapunta Hyang Srijayanasa. Nama Dapunta Hyang terukir di Prasasti Kedukan
Bukit, 864 Masehi). Menurut Nurhadi, dalam sejarah Kerajaan Sriwijaya tidak
pernah terjadi pertentangan. Kehancuran Sriwijaya yang pernah menjadi
kerajaan maritim terbesar di Nusantara disebabkan faktor eksternal, tidak ada
sejarah yang mengisahkan perebutan tampuk kekuasaan di antara keturunan raja.
|
4.
|
Tafsiran isi 2
|
“Pertentangan dan kehancuran kerajaan diriwayatkan terjadi karena ada
serangan dari luar kerajaan,” tegas Nurhadi. Ketua Yayasan Kebudayaan
Tandipulau, Erwan Suryanegara, protes lebih keras. “Saya berani pasang leher
untuk menentang film ini,” katanya.
|
5.
|
Tafsiran isi 3
|
Budayawan yang mendapat Magister Seni Rupa dan Desain dari Institut
Teknologi Bandung ini mengatakan, kisah yang diceritakan terkesan mengadaada
karena menggabungkan Gending Sriwijaya dengan cerita Kerajaan Sriwijaya. Dua
hal ini merupakan objek yang berbeda. Gending Sriwijaya merupakan nama tarian
yang diciptakan pada tahun 1943 ketika zaman penjajahan Jepang sebagai tarian
penyambut petinggi Jepang ketika itu. Tari ini diciptakan Sukainah Arozak,
syair diciptakan A. Muhibat. Sementara Kerajaan Sriwijaya dikisahkan dalam
sejarah mengalami kejayaan pada abad ke-7 hingga ke-13 masehi. “Dua hal ini
merupakan kisah yang berbeda, tidak dapat disatukan. Selisih waktu di antara
keduanya jauh, berabad-abad,” jelasnya.
|
6.
|
Evaluasi
|
Erwin mempermasalahkan riset yang dilakukan sutradara dan penulis
skenario film karena menurutnya film ini tidak didukung riset yang cukup akan
latar belakang sejarah Sriwijaya. Kekeliruan riset juga ditunjukkan dengan
kostum yang dikenakan para pemain tidak sesuai pada masanya. Para pemain
mengenakan pakaian yang tidak bercirikan pakaian Melayu ketika itu. “Kemben
yang digunakan itu bukan pakaian sehari-hari masyarakat ketika itu. Bagi
kami, pakaian itu merupakan pakaian khusus untuk ke sungai jika hendak
mandi,” ungkap budayawan yang juga menjadi pengajar di Palembang ini.
|
7.
|
Rangkuman
|
Sama seperti Nurhadi, perebutan kekuasaan antara kedua anak raja kerajaan
yang diceritakan dalam film ini juga dipertanyakan Erwin. Sinopsis film Gending Sriwijaya mengisahkan perebutan tahta kerajaan antara dua orang anak Raja Dapunta Hyang Sri Jayanasa (diperankan Slamet Rahardjo), yakni Awang Kencana (Agus Kuntjoro) dan Purnama Kelana (Syahrul Gunawan). “Tidak ada sejarah yang mengisahkan perebutan kekuasaan oleh dua anak raja Kerajaan Sriwijaya,” tegasnya. (Sumber: www.tribunnews.com) |
- Disebutkan
oleh penulis teks ulasan “Gara-Gara Kemben, Film “Gending Sriwijaya”
Diprotes Budayawan”, Ilm, bahwa film “Gending Sriwijaya” ini menuai
kontroversi. Mengapa?
Ø Karena beberapa
budayawan dan peneliti sejarah Sumatra Selatan tidak srek (protes) dengan
adanya film tersebut. Hal ini disebabkan karena alur cerita film menyimpang
dari sejarah Kerajaan Sriwijaya.
- Kepala
Balai Arkeologi Palembang, Nurhadi Rangkuti, mengatakan film ini bisa
menimbulkan pembiasan sejarah. Apa maksudnya?
Ø Maksud pembiasan
sejarah adalah salah mengartikan atau salah pemahaman tentang sejarah yang
sebenarnya, sehingga menyebabkan pembaca tidak mengetahui yang sebenarnya,
karena film tersebut mengandung isi yang tidak sesuai dengan kenyataan.
- Tahukah
kalian kebenaran sejarah yang melatarbelakangi kehancuran Kerajaan
Sriwijaya?
Ø Kehancuran Sriwijaya
dilatarbelakangi oleh faktor eksternal, yaitu serangan dari kerajaan luar.
- Apa
pula maksud kemben yang disebut-sebut dalam teks ulasan tersebut?
Ø Kemben adalah pakaian
tradisional seperti jarik yang digunakan sampai ke bagian dada. Yang biasanya
digunakan ke sungai ketika hendak mandi.
- Termasuk corak apakah teks
ulasan di atas? Mengapa?
Ø Termasuk
corak kritik evaluasi karena ulasan tersebut memindai kerangka cerita, premis,
dan tema dari sejarah Kerajaan Sriwijaya .
TEKS 2
Teks “’Mengapa Kau Culik Anak Kami?’
Pertanyaan Itu Belum Terjawab
No.
|
Struktur Teks
|
Kalimat
|
1.
|
Orientasi 1
|
“Apa orang-orang itu tidak punya seorang ibu yang setidak-tidaknya pernah
memperkenalkan kasih sayang, kelembutan cinta....” “Apa kamu pikir orang-orang itu dilahirkan oleh seorang ibu?” “Apa mereka lahir dari batu?” “Mereka dilahirkan oleh rahim kekejaman.” Dialog itu diucapkan tokoh Ibu dan Bapak yang diperankan Niniek L. Karim dan Landung Simatupang dalam drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” Drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” ditulis dan disutradarai oleh Seno Gumira Ajidarma. Banyak penonton berkaca-kaca matanya menyaksikan pementasan drama sepanjang 75 menit itu, yang selama itu pula suasana dicekam oleh kepiawaian akting dua aktor andal itu, yang satu dari Jakarta dan satu lagi dari Yogyakarta. |
2.
|
Orientasi 2
|
Drama ini dipentaskan di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM),
Jakarta, 6—8 Agustus 2001, dan setelah itu digelar di Societeit, Taman
Budaya, Yogyakarta, 16—18 Agustus. Pertunjukan diproduksi oleh Perkumpulan
Seni Indonesia bekerja sama dengan Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan).
|
3.
|
Orientasi 3
|
Panggung diisi oleh garapan artistik dari tokoh yang juga jarang muncul,
yakni Chalid Arifin, lulusan Institut Des Hautes Etudes Cinematographiques,
Perancis. Suasananya serba minimalis, sampai ke tata lampu maupun garapan
musik oleh Tony Prabowo yang dimainkan oleh Budi Winarto dengan saksofon
soprannya.
|
4.
|
Orientasi 3
|
Drama tersebut diilhami oleh peristiwa penculikan aktivis di era Orde
Baru-
Soeharto. Drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” berwujud obrolan antara tokoh suami dan istri yang anaknya diculik dan belum kembali. Obrolan terjadi menjelang tengah malam. Bapak mengenakan sarung dan berkaus oblong, sedangkan Ibu bergaun panjang. |
5.
|
Orientasi 4
|
Kalau dilihat secara sederhana, obrolan terbagi dua fase: fase pertama
menyangkut tindak kekejaman secara umum yang dilakukan oleh tentara, fase
kedua memfokuskan pada kehidupan Ibu-Bapak itu, yang anaknya, Satria
(diperankan oleh korban penculikan yang sebenarnya, aktivis Solidaritas
Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi, Nezar Patria) hilang diculik penguasa.
|
6.
|
Tafsiran isi 1
|
Berlatarkan pada situasi politik sekarang yang cenderung ingin melupakan
korban-korban penculikan yang sampai kini tak ketahuan rimbanya, drama ini
serentak menemukan relevansi sosialnya. Dengan langsung menunjuk
peristiwa-peristiwa kekerasan yang pernah terjadi di Indonesia termasuk pada
tahun 1965, drama ini sendiri lalu seperti berada di wilayah “kesenian
kontemporer” dengan sifat khasnya: meleburnya batas antara kesenian dan
kehidupan nyata; antara ruang pribadi dan ruang publik; dan seterusnya. Apa
yang dialami si Ibu-Bapak Niniek dan Simatupang, adalah juga pengalaman
sehari-hari sekian orangtua yang kehilangan anak-anaknya, anak yang
kehilangan bapaknya, diculik oleh genderuwo penguasa politik.
|
7.
|
Tafsiran isi 2
|
“Ini hanya sebuah kopi dramatik dari peristiwa yang sebenarnya,” kata
Seno Gumira. Seno sendiri yang lebih dikenal khalayak sebagai penulis cerpen
sebenarnya juga pernah menggauli penulisan naskah drama. Ia pernah bergabung
dengan Teater Alam, Yogyakarta, pimpinan Azwar A.N. pada pertengahan 1970-an.
Ia pernah menggelar drama karyanya berjudul “Pertunjukan Segera Dimulai” pada
1976. Belakangan, ia mementaskan “Tumirah Sang Mucikari” (1998) yang diilhami
oleh huru-hara politik di Tanah Air.
|
8.
|
Tafsiran isi 3
|
“Mengapa Kau Culik Anak Kami?” sendiri, dari segi naskah dan strategi
pementasan, boleh jadi oleh penulis dan sutradaranya tidak langsung
diparadigmakan dalam gagasan-gagasan yang mendasari peleburan batas kesenian
dan kehidupan seperti diwacanakan oleh seni kontemporer. Suasana penantian,
misalnya, mungkin masih seperti mengacu pada “modernisme” Becket, taruhlah
dalam Waiting for Godot.
|
9.
|
Evaluasi
|
Namun, para pendukung, katakanlah Niniek, Simatupang, serta tidak
ketinggalan penata musik, Tony Prabowo, dengan kematangannya telah
menjembatani apa yang bisa dicapai naskah tersebut dengan publiknya. Ini
masih didukung adegan sekilas yang menjadi penting, ketika Nezar Patria
tiba-tiba muncul di panggung beberapa detik. Sementara saksofon yang
melengkingkan blues oleh Budi Winarto yang menandai pergantian babak, setiap
saat menggarisbawahi, betapa pahit dan mengenaskan sebetulnya hidup di
republik ini. Itulah yang membuat hati banyak orang teriris dan sebagian
menjadi sembab matanya ketika keluar dari gedung pertunjukan.
|
10.
|
Rangkuman
|
Di panggung, Niniek berujar, “Sudah setahun lebih. Setiap malam aku
berdoa mengharapkan keselamatan Satria, hidup atau mati. Aku hanya ingin
kejelasan....” Sementara Simatupang berdiri, maju ke ujung panggung dan
bermonolog, “Mengapa kau culik anak kami? Apa bisa pertanyaan ini dijawab
oleh seseorang yang merasa memberi perintah menculiknya?” Pertanyaan itu
belum terjawab di atas pentas. Juga di luar pentas.
|
- Teks di
atas mengulas sebuah drama berjudul “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” Sebelum
penulis teks masuk pada bagian orientasi, terdapat dialog antara tokoh Ibu
dan Bapak. Apa yang mereka bicarakan?
Ø Mereka membicarakan tentang
kekejaman seseorang yang telah menculik anaknya tanpa alasan apapun (belum ada
kejelasan). Mereka selalu berdoa mengharapkan keselamatan anaknya (Satria).
- Ada
berapa paragrafkah orientasi yang terlihat pada teks tersebut?
Ø Pada teks tersebut terdapat
4 paragraf orientasi yaitu paragraf 1 sampai dengan 4 didalam
paragraph-paragraf tersebut terdapat gambaran umum mengenai drama tersebut dan
terdapat paparan tentang nama,kegunaan dan sebagainya.
- Apa
tema yang diangkat dalam drama yang ditulis dan disutradarai Seno Gumira
Aji Darma ini?
Ø “Mengapa Kau Culik
Anak Kami?” mengangkat tema politik. Dalam drama tersebut bercerita mengenai
keadaan politik dan peristiwa kekerasan yang terjadi pada tahun 1965 dan
seterusnya dimana tidak adanya kejelasan dan hentinya hingga akhir-akhir ini,
politik Negara yang carut-marut.
- Mengapa
banyak mata penonton yang berkaca-kaca setelah menyaksikan pementasan
drama tersebut?
Ø Karena suasana cerita
dapat mencengkam oleh kepiawaian acting dua actor handal(sebagai ibu dan
bapak).
- Termasuk
corak apa teks ulasan di atas? Mengapa?
Ø Dalam teks ulasan
tersebut merupakan corak kritik apresiasi dimana sang pengulas
memberikan tanggapan positif terhadap film ini.
Pada ketiga teks ulasan tersebut,
terdapat kelebihan, kekurangan, dan jalan keluar yang diberikan penulisnya pada
kolom di bawah ini
No.
|
Judul Teks Ulasan
|
Kelebihan
|
Kekurangan
|
Jalan Keluar
|
1.
|
Gara-gara Kemben Film Gending Sriwijaya
|
|
|
|
2.
|
“Mengapa Kau Culik Anak Kami” Pertanyaaan Itu Belum Terjawab
|
1.
Banyak penonton berkaca-kaca
menyaksikannya
2.
Akting para pemain yang andal
3.
Penggarapan artistik yang
memukau
4.
Sound yang menggambarkan kesedihan
dengan apik
5.
Kisah dari kehidupan sehari-hari
|
1.
Kisah tidak digambarkan secara
langsung
2.
Suasana terlalu modernism
|
1.
Cerita harus to the point
2.
Menggambarkan suasana sebagaimana
mestinya
|
Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk
menuliskan nama buku, majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam tulisan. Misalnya:
Berita itu muncul dalam harian Kompas. Tanda petik (“...”) dipakai untuk
mengapit judul puisi, karangan, atau bab buku yang dipakai dalam kalimat.
Misalnya: Sajak “Pahlawanku” terdapat pada halaman 5 buku itu. Oleh sebab itu,
penulisan judul film atau drama yang dipakai dalam kalimat menggunakan tanda
petik (“...”), sedangkan judul novel dituliskan dengan huruf miring.
SELESAI.