Friday, February 2, 2018

Mahasiswa

Opini Pribadi menyoal Kejadian Balairung #kartukuningjokowi

Ya, kalian tau arah tulisan ini akan kemana. Saat perayaan Dies Natalis Universitas Indonesia ke-68 yang dihadiri oleh Presiden RI, Jokowi, terdapat suatu peristiwa yang tak kalah menyita perhatian publik selain Presiden Jokowi itu sendiri. Peristiwa yang dimaksud adalah Kabem UI yang mengacungkan kartu kuning ke Presiden Jokowi. Dari segala kronologi dan video yang udah gue liat dan either kalian juga pasti ga ketinggalan berita ini, serta segala cerita dibalik itu semua. Disini, yang jadi concern gue adalah, adanya dualisme opini publik berkaitan dengan kejadian itu.

Dari netizen yang menilai hal tersebut merupakan aksi simbolik yang sebenernya mempunyai pesan positif, mereka berpikir bahwasannya hal-hal yang berkaitan dengan pemerintah baik itu kebijakan maupun realita kondisi yang terjadi di tanah air disampaikan dengan metode-metode mainstream dan selalu ingin BEM UI sampaikan kepada Presiden Jokowi, sangat sulit untuk didengar dan apalagi berdiskusi. Jadi, perayaan Dies Natalis ini dapat dijadikan sebuah atensi oleh BEM UI untuk mengingatkan pemerintahan Jokowi.

Sementara bagi netizen yang menganggap hal tersebut tidak lebih dari suatu tindakan yang tidak benar meskipun berbau justifikasi akibat dari isu yang dibawakan menyayangkan adanya kejadian ini.
Pro-kontra mungkin terus bergulir, bagi mahasiswa UI sendiri ataupun bagi mahasiswa kampus lain yang ikut memonitoring hal ini.

Terlepas dari itu semua, setiap orang punya pandangan dan pendapat nya masing-masing. Karena bagaimanapun jika dilihat dari dua sisi, keduanya sangat memiliki hal yang sama-sama meyakinkan untuk disetujui.

Kemudian, disini yang jadi poin pertanyaan gue, etis kah tindakan yang dilakukan Kabem UI tersebut dalam acara sesakral Dies Natalis? Apakah memang setirani dan sesusah itu Pemerintahan kita sekarang jika kita ingin menyampaikan aspirasi dan kritikan?
3 persoalan isu yang dibawa oleh BEM UI ialah menyoal Dwi fungsi TNI/Polri yang akhir-akhir ini sedang panasnya buntut dari penunjukkan kepala daerah oleh Mendagri kepada tokoh TNI dan Polri. Kemudian menyangkut soal gizi buruk dan kelaparan suku nan jauh di timur sana yaitu suku Asmat, Papua. Lalu yang terakhir adalah mengenai draf ormawa.

Jika kita lihat dengan seksama, masalah- masalah tersebut memang masalah yang sangat kritis dan perlu adanya respon dari pemerintah. Namun sekali lagi, apakah etis hal tersebut dilakukan?
Dalam suatu komentar yang dilontarkan oleh netizen terkait kejadian ini, salah satunya isi komentar tersebut mengatakan, apabila suatu hal yang baik tetapi dilakukan dengan cara yang kurang baik, maka akan mengakibatkan hasil akhir yang tidak baik bagi hal tersebut. Mungkin, inilah yang sedang terjadi sekarang. Dimana sebenarnya intisari dari tindakan tersebut memiliki relasi dengan tujuan mereka menyoal isu-isu tersebut agar mendapat perhatian.

Gue menilai, jika hal-hal lain dipilih untuk dipergunakan oleh BEM UI dalam menyampaikan isu-isu tersebut kepada Pemerintah, bukan berarti mereka tidak akan didengar. Dan kalo pun memang tidak ada tanggapan, apa hanya dengan menarik perhatian Presiden dengan cara seperti itu saja yang dapat dilakukan?. Dalam praktiknya, jika BEM di universitas seluruh Indonesia ingin mengkritisi pemerintah maka hal yang harus dilakukan adalah membuat sebuah kajian atau policy paper yang nantinya diberikan kepada pemerintah melalui birokrasi terkait. Bisa saja disaat kita-kita mahasiswa dalam tahap mengkritisi pemerintah dalam suatu isu, sebenernya pemerintah telah berjalan menangangani isu tersebut.

Ingat, kritis itu baik, tetapi terlalu kritis secara berlebihan akan menjadi sangat oksimoronik. Pemerintah sedang berproses, tidakkah kita sadar bahwa kita hanya selalu berprotes?.

No comments:

Post a Comment