Oleh
Tri Adji Prasetya Wibowo
1710611069
Dalam dunia ketenagakerjaan telah
dikenal sejak lama sistem perekrutan tenaga kerja atau buruh dengan menggunakan
sistem outsourcing (alih daya), sistem
ini banyak dipakai oleh perusahaan sebagai langkah mempercepat proses
perekrutan tenaga kerja yang sedang dibutuhkan. Walaupun begitu, outsourcing sendiri di Indonesia menuai
banyak protes dikarenakan sistem ini
tidak mengindahkan kesejahteraan para tenaga kerja. Lalu kemudian apakah
pengertian dari sistem outsourcing ini?
Menurut Maurice Greaver, Outsourcing (Alih Daya) dipandang sebagai tindakan
mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya
kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu
kontrak kerjasama (Faiz, 2007).
Bila merujuk pada Undang-Undang No.
13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Outsourcing (Alih Daya)
dikenal sebagai penyediaan jasa tenaga kerja seperti yang diatur pada pasal 64,
65 dan 66. Bidang pekerjaan untuk alih daya, menurut UU 13 Tahun 2003
(Pasal 66, ayat 1). diantaranya adalah meliputi usaha pelayanan kebersihan,
usaha penyedia tenaga pengaman, usaha penyedia angkutan pekerja/buruh, usaha
penyedia makanan bagi pekerja/buruh, dan usaha jasa penunjang pertambangan dan
perminyakan. Di dalam Pasal 37 juga disebutkan bahwa penempatan tenaga kerja terdiri
dari instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan serta
Lembaga swasta berbadan hukum. Oleh karena itulah di Indonesia Perusahaan
swasta penyedia jasa tenaga kerja (outsourcing) menjamur.
Kemudian berbicara mengenai sistem perekrutan tenaga
kerja outsourcing sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sistem perekrutan
karyawan pada umumnya. Perbedaannya, karyawan ini direkrut oleh perusahaan
penyedia tenaga jasa, bukan oleh perusahaan yang membutuhkan jasanya secara
langsung. Nanti, oleh perusahaan penyedia tenaga jasa, karyawan akan dikirimkan
ke perusahaan lain (klien) yang membutuhkannya. Dalam sistem kerja ini,
perusahaan penyedia jasa outsource melakukan pembayaran terlebih dahulu kepada
karyawan. Selanjutnya mereka menagih ke perusahaan pengguna jasa mereka. Karyawan
outsourcing biasanya bekerja berdasarkan kontrak, dengan perusahaan penyedia
jasa outsourcing, bukan dengan perusahaan pengguna jasa. Hal ini pula yang membuat
perusahaan tidak perlu repot menyediakan fasilitas maupun tunjangan makan,
hingga asuransi kesehatan/BPJS Kesehatan. Sebab, yang bertanggung jawab adalah
perusahaan outsourcing itu sendiri.
Dalam dunia perusahaan tentunya outsourcing sangat
menguntungkan, selain dapat menghemat anggaran pelatihan karyawan dan tidak
perlu repot-repot menyeleksi calon pekerja juga membuat Perusahaan bisa lebih
fokus mengurusi bisnis intinya daripada menghabiskan energi, waktu, dan biaya
untuk hal-hal yang bersifat teknis.
Lalu berbicara masalah outsourcing ini, apakah
menguntungkan semua pihak termasuk pekerja/buruh? Tentu tidak. Outsourcing bila
dilihat dari sudut pandang normatif hanyalah menguntungkan Perusahaan penyedia jasa
dan perusahaan pemakai jasa, namun untuk pekerja outsourcing terdapat
ketidakadilan dalam sistem ini. Hal-hal itu meliputi masalah-masalah yang sering
timbul terkait hak-hak pekerja, yaitu besaran
upah/gaji yang diterima, fasilitas
hingga persoalan Pemutusan Hubungan Kerja.
Dari sisi gaji
yang diterima, terkadang gaji mereka dipotong oleh perusahaan induk. Bayangkan,
presentase potongan gaji ini bisa mencapai 30 persen, sebagai jasa bagi
perusahaan outsourcing. Celakanya, tidak semua karyawan outsourcing mengetahui
berapa besar potongan gaji yang diambil oleh perusahaan outsourcing atas
jasanya memberi pekerjaan di perusahaan lain itu. Begitupun dengan fasilitas penunjang
kerja bagi pekerja outsourcing dimana dalam beberapa kondisi masih banyak
ditemukan perusahaan outsourcing yang belum memberikan jaminan perawatan
kesehatan bagi pekerja mereka. Kemudian karena outsourcing merupakan sistem
kontrak maka pekerja oursourcing bekerja berdasarkan kontrak kerja alias tidak
permanen. Mereka tidak punya jenjang karir yang bisa dicapai. Bila kontrak
habis dan tidak diperpanjang, maka para pekerja ini tidak memiliki posisi tawar
yang bagus. Selain itu Perusahaan outsourcing dapat melakukan pemutusan hubungan
kerja terhadap pekerja outsourcing tanpa pesangon atau kompensasi dalam bentuk
apapun. Namun jika pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan dilakukan sebelum
masa kontrak kerja habis, maka perusahaan outsourcing diwajibkan membayarkan
gaji kepada pekerja sampai waktu seharusnya berakhir kontrak kerja tersebut
sesuai dengan Peraturan UU Ketenagakerjaan.
Oleh karena itu, apabila berbicara mengenai sistem
outsourcing, perlu banyak hal yang harus diperhatikan, terlebih bagi
terjaminnya hak-hak pekerja/buruh outsourcing.
1.
Perusahaan
pengguna tenaga kerja outsourcing harus secara sungguh-sungguh dan berhati-hati
dalam memilih penyedia jasa outsourcing sehingga antara pengguna jasa dan
penyedia jasa tidak hanya menguntungkan salah satu pihak namun juga berkeadilan
dan mampu melindungi hak-hak pekerja dengan baik.
2.
Untuk perusahaan
penyedia jasa outsourcing harus bisa menjamin dan memperhatikan hak-hak tenaga
kerja outsourcing dan menjalankan operasional perusahaan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan serta dapat transparan terhadap pengguna jasa dan
pekerja.
3.
Lalu untuk
pemerintah, harus selalu dapat mengawasi dan mengontrol perusahaan outsourcing
dan dapat dengan tegas menindak perusahaan yang tidak mengikuti aturan sesuai
dengan UU Ketenagakerjaan serta dapat melindungi hak-hak para pekerja outsourcing baik itu
dengan membuat payung hukum yang lebih spesifik ataupun juga memberikan wadah
perlindungan bagi pekerja yang memiliki permasalahan terhadap pekerjaannya.
No comments:
Post a Comment